Benarkah Imam Syafi’i Rahimahullah Ngalap Berkah di Kuburan Imam Abu Hanifah Rahimahullah? (Takhrij dan Derajat Kisah)


Dikisahkan bahwa Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Saya ngalap berkah dengan Abu Hanifah. Aku mendatangi kuburannya setiap hari. Apabila aku ada hajat, maka aku pergi ke kuburannya, sholat dua rakaat dan berdoa di sisi kuburan Abu Hanifah, kemudian tak lama dari itu Allah mengabulkan doaku.”

Takhrij dan Derajat Kisah

BATHIL. Kisah ini dicantumkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, 1:123 dari jalur Umar bin Ishaq bin Ibrohim dari Ali bin Maimun dari asy-Syafi’i.
Riwayat ini adalah lemah, bahkan bathil, karena Umar bin Ishaq tidak dikenal dan tidak disebutkan dalam kitab-kitab perawi hadis.
Kisah ini adalah kedustaan yang amat nyata. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Ini adalah kedustaan yang sangat nyata bagi orang yang mengerti ilmu hadis… Orang yang menukil kisah ini hanyalah orang yang sedikit ilmu dan agamanya.” Ibnu Qoyyish juga berkata, “Kisah ini termasuk kedustaan yang sangat nyata.” Dalam kitab Tab’id Syaithon dijelaskan: “Adapun cerita yang dinukil dari Imam Syafi bahwa beliau biasa pergi ke kuburan Abu Hanifah, maka itu adalah kisah dusta yang amat nyata.” Maka janganlah engkau dengarkan apa yang dikatakan oleh al-Kautsari bahwa sanad kisah ini adalah shohih, karena ini adalah termasuk kesalahannya.

Bukti-bukti Kebathilan Kisah

Beberapa bukti yang menguatkan kedustaan kisah ini adalah sebagai berikut.
  1. Tatkala imam Syafi’i datang ke Baghdad, di sana tidak ada kuburan yang biasa didatangi untuk berdoa.
  2. Imam Syafi’i telah melihat di Hijaz, Yaman, Syam, Iraq, Mesir, kuburan-kuburan para Nabi, sahabat dan tabi’in dimana mereka lebih utama daripada Abu Hanifah. Lantas, mengapa beliau hanya pergi ke kuburan Abu Hanifah saja?
  3. Dalam kitabnya Al-Umm, 1:278, Imam Syafi’i telah menegaskan bahwa beliau membenci pengagungan kubur karena khawatir fitnah dan kesesatan. Maksud beliau dengan pengagungan kubur yaitu sholat dan berdoa di sisinya. Lantas, apakah mungkin beliau menyelisihi ucapannya sendiri?!
  4. Hal yang menguatkan bathilnya kisah ini adaah pengingkaran Imam Abu Hanifah terhadap meminta-minta kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam kitab Ad-Durr al-Mukhtar dan kitab-kitab Hanafiyyah sering dinukil ucapan dan kitab-kitab Hanafiyyah sering dinukil ucapan Imam Abu Hanifah, “Saya membenci seorang meminta kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” “Tidak boleh bagi seorang pun meminta kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tetapi justru kepada-Nya saja.”
Dan tidak ragu lagi bahwa Imam syafi’i mengetahui pendapat Abu Hanifah ini. Lantas, bagaimana mungkin beliau bertawassul kepadanya padahal ia tahu bahwa Abu Hanifah membenci dan mengharamkannya? Sama sekali tidak masuk akal. Bahkan hal itu akan membuat murka Imam Abu Hanifah.
Jadi semua itu adalah mustahil, kedua Imam ini berlepas diri dari kisah dusta tersebut. Namun apa yang kita katakan kepada para pendusta?! Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita mengadu. Ya Allah Subhanahu wa Ta’ala, kami berlepas diri dari apa yang mereka perbuat.”

Sumber : http://kisahmuslim.com/imam-syafii-rahimahullah-ngalap-berkah-di-kuburan-imam-abu-hanifah-rahimahullah/

1 komentar untuk "Benarkah Imam Syafi’i Rahimahullah Ngalap Berkah di Kuburan Imam Abu Hanifah Rahimahullah? (Takhrij dan Derajat Kisah)"

Comment Author Avatar
Dalam karya beliau yang masyhur "Tarikh Baghdad" pada jilid 1 halaman 123 Khatib al bagh dadi menulis kisah tersebut melalui jalan daripada al-Qadhi Abu `Abdullah al-Husain bin `Ali bin Muhammad as-Saymari daripada `Umar bin Ibrahim al-Muqri daripada Makram bin Ahmad daripada `Umar bin Ishaq bin Ibrahim daripada `Ali bin Maimun yang menyatakan bahwa beliau mendengar Imam asy-Syafi`i RA berkata:

" Sesungguhnya aku bertabarruk dengan Abu Hanifah dan aku menziarahi kubur beliau setiap hari. Apabila aku mempunyai suatu hajat keperluan, aku bershalat dua rakaat, kemudian pergi ke kubur Abu Hanifah dan berdoa kepada Allah di sisinya, maka dalam masa yang singkat sahaja hajat tersebut ditunaikan. "

sebagian orang mempertikaikan kesahihan kisah tersebut. Maka itu adalah hak mereka dan sebagaimana mereka, kami juga punya hak untuk tidak menerima pendapat mereka dan sebaliknya menerima pendapat ulama yang mensabitkan kebenaran pada kisah tersebut. Menurut kajian Imam Khatib al-Baghdadi, segala periwayat kisah tersebut adalah orang - orang yang shaduq dan tsiqah (yakni orang - orang yang dipercayai) dan pandangan beliau ini turut disetujui oleh ulama-ulama lain.

Pihak yang menolak kisah tersebut seperti al-Albani juga tidak menafikan kedudukan dan status para perawi kisah tersebut adalah orang - orang kepercayaan selain daripada " `Umar bin Ishaq bin Ibrahim" yang dikatakan sebagai seorang yang majhul (yakni yang tidak diketahui identitinya). Atas dasar tersebut maka al-Albani menghukumkan kisah tersebut sebagai dhaif bahkan batil. Rasanya penilaian kisah tersebut sebagai batil adalah satu penilaian yang berlebihan karena beliau gagal mempertimbangkan fakta yang para periwayat lain adalah mereka-mereka yang shaduq dan tsiqah. Sewajarnya perkara ini masuk dalam pertimbangan al-Albani sebelum menyatakan yang ianya batil.

perlu diberi perhatian juga bahwa kisah ini turut disampaikan melalui jalan lain, antaranya oleh:

1. Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam karya beliau "al-Khairat al-Hisan" yang merupakan manaqib Imam Abu Hanifah pada fasal 35 halaman 129 dengan sanad yang shahih

2. Imam Ibnu Abil Wafa menyebutkan kisah ini dalam "Tabaqat al-Hanafiyyah" pada halaman 519 dengan sanad lain melalui al-Ghaznawi.

3. Tidak ketinggalan para ulama di masa kita ini turut memuat kisah ini dalam karya mereka, misalnya Imam Muhammad Zahid al-Kawthari membawa kisah ini dalam "Maqalat al-Kawthariy" pada halaman 453 dan mengatakan bahwa sanad kisah ini adalah bagus (jayyid).

4. Mufti Muhammad Taqi Uthmani memuat dalam karya beliau "Jahan-e-Deedah", jika kisah tersebut dianggap sebagai batil, pasti Mufti Muhammad Taqi yang terkenal sebagai seorang ulama bermazhab Hanafi tidak akan memuatnya dalam karya beliau.

selain itu, menurut penjelasan sebahagian ulama lain, ada kemungkinan 'Umar bin Ishaq tersebut adalah `Amr bin Ishaq al-Himsi yang merupakan seorang yang diketahui dan boleh dipercayai. Jika ianya benar, maka tiadalah apa lagi kecacatan pada sanad yang dikemukakan oleh Imam Khatib tersebut.


Maka hendaklah kita berlapang dada, jangan terlalu taksub dengan pegangan kita sehingga menuduh pihak yang tidak sependapat dengan berbagai tuduhan yang keji. Tiada paksaan samada untuk menerima atau menolak kisah Imam asy-Syafi`i RA bertabarruk dengan Imam Abu Hanifah RA.